05 September 2012

Hubungan Industrial yang Sehat

Perbudakan dalam bentuk seperti yang berlaku pada zaman dahulu sudah tidak ada lagi hari ini. Tetapi, dalam bentuknya yang berbeda perbudakan masih terus ada.

Sebuah kamus bahasa Inggris kontemporer mendefinisikan perbudakan (slavery) sebagai: [1] keadaan di bawah kontrol orang lain, dan [2] bekerja dalam kondisi kerja yang sukar dengan bayaran yang sangat minim.

Kelompok orang yang paling mencerminkan definisi ini adalah para pekerja, baik mereka yang disebut “pekerja kerah putih” maupun mereka yang dinamai “pekerja kerah biru”.

Bagi mereka yang berprofesi sebagai pekerja kerah putih, bayaran biasanya bukan masalah. Situasi “perbudakan” yang dialami adalah pada kontrol orang lain atas keinginan dan tindakannya.

Dalam batas-batas tertentu kontrol perlu dan harus. Tetapi, manakala sudah sampai pada kontrol atas nurani dan nilai-nilai sehingga kerja hanya dimaknai sebatas mencari uang, materi, dan keuntungan; maka di situ manusia sedang diperbudak.

Bagi pekerja kerah biru situasinya lebih sukar daripada itu. Dalam banyak hal kendali atas hidupnya telah diambil alih oleh sang pemberi kerja. Sistem ekonomi dan ketenagakerjaan telah menempatkan mereka pada posisi yang lemah. Sementara ruang alternatif yang tersedia begitu sempit dan sukar untuk dimasuki.

Siapakah orang yang paling bertanggung jawab untuk melepaskan para “budak” ini? Pihak pertama yang harus bertanggung jawab adalah mereka yang memiliki para budak itu. Mereka adalah orang-orang yang pada masa kini merupakan pemilik usaha dan pemberi kerja.

Apa yang harus mereka lakukan? Hal yang terpenting adalah perubahan relasi antara pemberi kerja dan pekerja. Jika semula bersifat kepemilikan di mana pengusaha merasa pekerja adalah miliknya, sehingga bisa diperlakukan sesukanya karena dibayar, kini tidak boleh lagi begitu.

Pengusaha harus memberi “kemerdekaan” kepada pekerja untuk menginginkan sesuatu, mencita-citakan sesuatu, dan berbuat sesuatu sesuai pilihannya.

Lebih dari itu, juga berarti menempatkan pekerja sejajar — dalam harkat dan martabat — dengan pemberi kerja. Itu berarti dalam relasi dengan pekerja, pemberi kerja harus berangkat dari keyakinan bahwa antara pekerja dan dirinya tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Pengusaha dan pekerja keduanya sama-sama setara.

Selanjutnya, selain dipandang dan diperlakukan sederajat, pengusaha atau majikan perlu memberdayakan pekerjanya supaya mereka mampu bersikap dan bertindak sebagai mitra yang sederajat.

Tentu ini membutuhkan investasi ke dalam diri pekerja. Mengeluarkan kapital atau modal. Sebagian orang berpikir itu rugi. Bukankah hal itu adalah tanggung jawab pekerja sendiri?

Sekilas rugi. Betul. Namun, pengusaha dan majikan yang mengutamakan kesejahteraan pekerjanya akan mendapati bahwa usaha mereka diberkati Tuhan secara luar biasa. —Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 5/9/12 (diedit seperlunya)

Judul asli: Memerdekakan Para Pekerja

==========


Artikel Terbaru Blog Ini