30 Januari 2013

Kenapa Enggan Berbagi?

Seorang petani lele yang lumayan sukses di Kalasan, Yogyakarta, tidak segan-segan membagikan ilmunya kepada petani-petani lain yang berminat menekuni budidaya ikan air tawar tersebut. Ia tidak khawatir kelak mereka akan menjadi pesaingnya.

"Kenapa mesti enggan berbagi ilmu dan keterampilan?" katanya. "Kalaupun kita sudah membagikannya, belum tentu juga orang bisa menirunya begitu saja. Dengan berbagi, kita sendiri akan mendapatkan lebih banyak masukan. Kita malah jadi semakin pintar."


Ya, memberi tidak akan membuat kita kekurangan. Sebaliknya, memberi justru menjadikan sumber daya kita berlipat ganda. Apa yang kita berikan tidak akan hilang sia-sia, melainkan akan dikembalikan kepada kita dalam kadar yang berlimpah-limpah.

Ini prinsip yang berlawanan dengan yang dijalankan dalam dunia bisnis. Pebisnis didorong untuk mengeluarkan biaya sekecil mungkin demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Prinsip bisnis semacam ini membangkitkan keserakahan, sedangkan belajar memberi mengembangkan kemurahan hati kita.

Kita masing-masing pasti memiliki sesuatu yang baik —uang, talenta, waktu, tenaga, senyuman, pengampunan— untuk dibagikan kepada orang yang memerlukan.

Kita tidak akan selalu menerima balasan dalam bentuk yang sama persis, namun tak ayal (tak perlu diragukan) kita akan mengalami berkat yang mendatangkan damai sejahtera.

Jadi, perhatikanlah apa saja yang Anda miliki dan dapat Anda daya gunakan untuk memberkati sesama, seperti petani lele tadi. Kenapa enggan berbagi? —Arie Saptaji

Orang miskin adalah orang yang tidak memiliki apa-apa untuk dibagikan kepada sesamanya.

* * *

Sumber: e-RH, 30/1/2013 (diedit seperlunya)

==========

24 Januari 2013

Langsung Marah

Seorang ibu begitu murka ketika anak gadisnya pulang terlambat. Tanpa banyak bertanya dan tidak memberi kesempatan kepada putrinya untuk menjelaskan, si ibu langsung memuntahkan kalimat-kalimat yang tidak senonoh dan bernada menghakimi.

Padahal, keterlambatan putrinya terjadi secara tak sengaja: ban motornya kempis di tengah jalan, dan ia harus menuntun motor cukup jauh sebelum menemukan tukang tambal ban.

Selain itu, batere telepon genggamnya habis sehingga ia tidak dapat memberi tahu ibunya.


Kita kadang-kadang membiarkan prasangka atau kemarahan menguasai diri kita sehingga kita tidak dapat menanggapi situasi dengan semestinya. Kita tidak meluangkan waktu untuk mendengarkan penjelasan orang lain dan secara gegabah melontarkan tuduhan.

Ledakan amarah yang membabi buta menyebabkan kita menyemburkan perkataan yang tidak pantas dan meninggalkan luka yang mendalam di hati orang yang kita hakimi. Singkatnya, amarah yang tak terkendali menghancurkan hubungan yang baik.

Apa yang tampak oleh mata kita belum tentu mengungkapkan seluruh keadaan secara lengkap. Oleh sebab itu, sudah semestinya kita memberikan kesempatan kepada orang lain menjelaskan duduk perkaranya.

Kesediaan untuk mendengarkan ini menolong kita untuk mengendalikan amarah. Sebaliknya, kita memiliki waktu untuk mempertimbangkan perkara secara lebih jernih sehingga dapat mengambil keputusan yang lebih adil.

Dengan itu, kita juga menghormati orang tersebut dan menghargai hubungan dengannya. —Riris Ernaeni

Lebih baik memberikan sepasang telinga yang mau mendengarkan daripada mencecarkan seribu nasihat yang menghakimi.

* * *

Sumber: e-RH, 24/1/2013 (diedit seperlunya)

==========

16 Januari 2013

Bubuk Kepahitan

Seorang guru hendak mengajarkan sesuatu kepada muridnya. Ia memberikan segenggam tepung biji mahoni untuk dimasukkan ke dalam sebuah cangkir berisi air, lalu menyuruh anak itu meminumnya. Sang murid segera memuntahkan air itu karena tak tahan mencecap rasa pahit yang luar biasa.

Kemudian guru itu kembali memberinya segenggam tepung biji mahoni, kali ini untuk dituangkan ke dalam sebuah telaga bening. Ia menyuruh anak itu mengambil airnya dan meminumnya. Kali ini si murid dapat menikmati air itu, yang tetap terasa tawar dan menyegarkan.

biji mahoni

"Tepung biji mahoni itu mewakili semua hal buruk dan kepahitan dalam hidup ini. Yang menentukan pengaruhnya adalah seberapa besar wadah yang menampungnya, yaitu hati kita!" kata sang guru yang bijak.

Sebagai orang percaya kita didorong agar tetap bertekun dalam iman, sekalipun banyak kesukaran menghadang dari berbagai sisi, termasuk dari sesama orang percaya.

Mengikut Tuhan memang tidak menjamin seseorang terbebas dari masalah, bahkan tak jarang menjadikan kehidupan kita kian pelik.

Syukurlah, orang percaya telah diberi hati yang baru. Anugerah-Nya memampukan kita untuk menawarkan rasa "bubuk kepahitan" sehingga hati kita tetap manis dan segar.

Apakah Anda bergumul untuk mengampuni orang lain? Apakah Anda mengalami kesulitan berdamai dengan seseorang? Apakah organisasi keagamaan di mana Anda bernaung mengecewakan Anda?

Lihatlah anugerah-Nya, bagaimana Dia mengasihi dan mengampuni Anda tanpa syarat. Maka ampunilah mereka yang bersalah kepada Anda. —Hembang Tambun

Kepahitan bukan ditentukan oleh apa yang kita alami, melainkan oleh respons hati kita terhadap pengalaman itu.

* * *

Sumber: e-RH, 16/1/2013 (diedit seperlunya)

==========

13 Januari 2013

Bahasa Kasih

Seorang teman saya yang bersuamikan seorang dokter memberi komentar tentang pekerjaan suaminya, Kris. “Pasien Kris banyak dan dia melayani setiap pasiennya paling cepat setengah jam, tapi lebih banyak dari mereka yang konsultasi dan minta nasihat. Dia lebih tepat jadi konselor daripada dokter umum.”

Kris adalah pendengar yang baik, sangat ramah dan bersahabat, sabar, orang senang berkomunikasi dengan dia. Jadi di samping mengobati penyakit, dia juga mengobati hati dan jiwa pasiennya. Kata orang penyakit juga sering disebabkan oleh pikiran kita, banyak masalah, kecemasan, atau rasa khawatir yang berlebihan.

Saya jadi teringat seseorang yang sangat saya kagumi, Dada J.P. Vasmani, seorang filsuf India dan pengkhotbah tentang perdamaian. Wajah dan senyumnya memancarkan kelembutan, damai, dan kasih. Ia begitu ramah dan sederhana, orang yang mendengar dia berbicara mendapatkan kembali rasa percaya dirinya, memperolah kekuatan dan ketegaran, walaupun sedang menghadapi masalah dan cobaan.

Menjalin suatu komunikasi yang didasarkan atas bahasa kasih adalah sangat penting. Apa pun pekerjaan kita, mungkin yang paling penting adalah bagaimana perkataan kita bisa membantu orang lain berbahagia dan merasakan kasih yang memberikan kekuatan untuk menjalani hidup ini.


Firman Tuhan berkata: “Kasihilah sesamamu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri.” Kita lahir dari kasih dan kita hidup karena kasih, dan sebagai orang yang dikasihi Tuhan, kita pun harus menebarkan kasih itu untuk orang lain melalui perbuatan, perkataan, juga senyum kita.

Salomo (Nabi Sulaiman) mengajarkan kepada kita bagaimana menggunakan lidah kita, karena perkataan yang kita pakai mempunyai kekuatan untuk melukai atau menyembuhkan.

“Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah. Seseorang bersukacita karena jawaban yang diberikannya, dan alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya!” ~Salomo

Bagaimana kita dapat menjadi berkat bagi orang lain melalui perkataan kita? —Irene Talakua

* * *

Sumber: KristusHidup.org, 13/1/2013 (diedit seperlunya)

Judul asli: Language of Love

==========


Artikel Terbaru Blog Ini