27 November 2012

Jangan Ngegosip

Ada nasihat demikian: "Apabila Anda membicarakan keburukan seseorang, jangan lupa memulai dan menutupnya dengan doa. Maka gosip itu akan berubah namanya menjadi sharing."

Apakah Anda setuju dengan nasihat lucu tersebut? Jangan-jangan tanpa disadari, kita pun sering menuruti nasihat itu.

Apabila kita melihat saudara kita berbuat dosa, firman Tuhan meminta kita untuk pertama-tama menegurnya di bawah empat mata. Ini berarti kita diminta berbicara langsung dengan pihak yang kita anggap berbuat dosa.

Dengan melakukannya kita bisa segera mendapat penjelasan maupun pertobatan. Ini dimaksudkan menjadi sebuah tindakan kasih, karena tujuannya adalah kembalinya saudara kita.

Sementara, gosip memilih untuk membicarakan keburukannya dengan orang lain dengan maksud agar orang menjadi bersikap negatif terhadap objek yang dibicarakan.


Orang yang menjadi bahan pembicaraan tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan tindakannya, atau mendapat kesempatan untuk segera bertobat. Ia secara tidak adil telah dihakimi, entah benar atau salah perbuatannya.

Sering kali pelayanan terhambat karena hal yang sederhana ini. Kita gagal mengasihi sesama saudara. Adakah saudara kita yang telah berbuat dosa? Doakanlah dan temuilah ia secara pribadi untuk melihat ia berbalik dari dosanya.

Pikirkan dengan saksama, siapa yang patut mendengar kesalahan saudara kita. Kalau kita telah menceritakan kepada orang yang tidak berkepentingan, kita sedang menggosip.

Apabila kita diajak bergosip, tegurlah orang yang mengajak kita, dan sarankan untuk mengikuti prosedur yang dikatakan oleh firman Tuhan di atas (tegurlah dia di bawah empat mata). —PBS

Kasih yang sejati selalu berusaha agar saudara yang terhilang segera kembali.

* * *

Sumber: e-RH, 27/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

26 November 2012

Jangan Pura-Pura Tidak Tahu

Pernah beredar sebuah video singkat di media massa tentang seorang anak yang tertabrak di jalan yang cukup ramai. Anehnya, beberapa orang yang melihat sang anak tergeletak, hanya memandangnya dan berlalu tanpa peduli.

Hingga kemudian, seorang wanita menghampiri sang anak lalu bergegas menolongnya. Wanita itu akhirnya memperoleh penghargaan dari pemerintah setempat. Bersamaan dengan itu, bermunculanlah kecaman terhadap penduduk setempat yang tidak peduli terhadap korban.


Mengambil inisiatif untuk menolong orang lain bukan pilihan yang otomatis akan diambil kebanyakan orang. Tetapi umat Tuhan diminta untuk hidup berbeda dari orang-orang yang tidak mengenal-Nya.

Dalam salah satu bagian Kitab Suci, Tuhan memerintahkan agar umat-Nya berusaha mengembalikan atau merawat binatang peliharaan milik saudaranya yang tersesat atau mengalami celaka. Ini berlaku juga untuk barang apa pun yang mereka temukan.

Mereka tidak boleh "cuek" atau pura-pura tidak tahu. Tindakan yang demikian akan membuat orang yang kehilangan terhindar dari kerugian dan bersukacita karenanya. Ini merupakan perintah yang indah, melatih kepedulian dan inisiatif untuk berbuat baik.

Bagaimanakah kita berespons terhadap kemalangan atau kekurangberuntungan orang lain? Bukan kita yang merancang kecelakaan dan kemalangan mereka, tetapi kita berada dalam posisi yang dapat menolong mereka.

Apakah itu sebuah kebetulan? Ataukah kesempatan yang Tuhan berikan untuk menyatakan kasih-Nya secara personal? Apakah kita akan melakukan sesuatu? Ataukah kita berlalu dan pura-pura tidak tahu? —PBS

Kasih kepada sesama mendorong kita melakukan yang terbaik baginya.

* * *

Sumber: e-RH, 26/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Pura-Pura Tidak Tahu

==========

24 November 2012

Mengasihi Sesama

Seorang suami heran karena istrinya membeli jenis beras yang kualitasnya jauh di bawah beras yang biasa mereka beli. Sang istri menjelaskan, "Oh, ini untuk disumbangkan ke rumah yatim piatu. Kalau beras mahal kan untuk kita konsumsi sendiri."

Mengupayakan yang terbaik untuk diri sendiri dan tidak harus memakai ukuran yang sama ketika itu untuk kepentingan orang lain adalah keputusan yang sering kita anggap wajar, bukan?

Kita sering menganggap bahwa mengasihi Tuhan lebih penting daripada mengasihi sesama. Kita bahkan sering menggunakan dalih rohani untuk mengabaikan tanggung jawab kepada sesama.


Sesungguhnya mengasihi sesama bobotnya sama dengan mengasihi Tuhan. Yang dimaksud dengan sesama atau "sesama manusia", bukan sesama ras, agama, atau kedudukan.

Artinya, sepanjang seseorang adalah manusia, ia harus kita kasihi. Bahkan ukuran yang seharusnya dipakai adalah "seperti mengasihi diri sendiri". Sebuah standar yang sangat tinggi, karena biasanya hampir semua orang akan mengusahakan hal-hal yang terbaik bagi diri sendiri.

Siapa yang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan.

Bagaimanakah kasih kita pada sesama di sekitar kita? Hari ini, perhatikanlah orang-orang yang sering Anda jumpai. Pikirkanlah hal-hal baik apa yang Anda ingin terjadi dalam hidup mereka, dan bagaimana Anda bisa menjadi alat Tuhan untuk mewujudkannya. —PBS

Melayani Tuhan dengan mengasihi sesama adalah perintah yang tak bisa dibantah.

* * *

Sumber: e-RH, 24/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Kasihilah Sesamamu

==========

23 November 2012

Menguasai Pikiran

Surat dari seorang rekan membuat apa yang sudah saya rencanakan jadi berantakan. Berbagai pemikiran berbaris di kepala saya. Mulai dari kemarahan atas isi suratnya, kekhawatiran akan persepsi orang yang terbentuk olehnya, penilaian jelek saya tentang karakter rekan tersebut. Juga skenario balasan untuk mematahkan argumennya.

Sukar memikirkan hal-hal yang baik tentang orang itu maupun cara-cara yang bersahabat untuk menyelesaikan masalah. Pemikiran negatif saya memicu reaksi yang negatif pula.


Ketika menghadapi perselisihan, sebaiknya kita tetap mengarahkan fokus pemikiran pada hal-hal yang positif. Bukan berarti mengabaikan masalah, melainkan tidak terus berputar-putar dalam masalah.

Memikirkan apa yang Tuhan ingin untuk kita lakukan adalah langkah yang seharusnya diambil. Antara lain: menjunjung kebenaran dan berani mengakui kesalahan, mengambil keputusan yang objektif, menegur kesalahan dengan kasih, memberi dorongan semangat, serta berinisiatif untuk memulihkan hubungan.

Fokusnya bukan membenarkan diri sendiri, tetapi melakukan apa yang berkenan di hati Tuhan. Ini akan menjadi kesaksian yang indah bagi orang-orang yang melihatnya.

Apa yang kita biarkan menguasai pikiran kita akan sangat memengaruhi tindakan-tindakan kita. Ketika kemarahan, keluhan, kesedihan mulai menguasai, tahanlah diri untuk langsung bereaksi.

Datanglah kepada Tuhan memohon damai sejahtera-Nya melingkupi kita. Mintalah pertolongan Tuhan untuk mengarahkan pikiran kita pada hal-hal yang berkenan di hati-Nya. —ELS

Tuhan, kuasailah pikiranku dengan pikiran-Mu, agar aku dapat melakukan hal-hal yang menyukakan hati-Mu.

* * *

Sumber: e-RH, 23/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Sebelum Bereaksi

==========

21 November 2012

Jiwa Pengkritik

Jerry Bridges bercerita tentang seorang ayah yang sering sekali mengkritik anak perempuannya seolah-olah ia tidak bisa melakukan apa pun dengan benar. Anak ini tumbuh sebagai anak yang merasa tertolak dan ketika dewasa ia mencari orang-orang yang bisa membuatnya merasa diterima.

Ketika ayahnya sadar, anak ini sudah hidup dalam seks bebas dan menjadi pecandu kokain. Kasus ini termasuk ekstrem, tak semua kritik bisa menimbulkan dampak separah itu. Namun, pada dasarnya, semangat mengkritik dan menghakimi memang bersifat menghancurkan.


Berbeda pendapat boleh-boleh saja, tetapi janganlah saling menghakimi dan menghina. Masing-masing kelompok tidak perlu merasa diri paling benar (karena yang dianggap ‘benar’ itu belum tentu betul-betul benar), apalagi memandang rendah kelompok yang berbeda dengan mereka. Mengapa kita ingin bertindak sebagai Allah bagi orang lain?

Hal-hal yang tidak sesuai dengan firman Tuhan jelas perlu ditegur. Namun, berhati-hatilah agar ketika melakukannya kita tidak terjebak dalam sikap merasa diri paling benar dan merendahkan orang yang punya pendapat berbeda.

Ungkapkanlah ketidaksetujuan kita dengan cara yang bijak, tidak kasar, apalagi sampai membunuh karakter seseorang. Sadarilah bahwa kita pun masih jatuh bangun dalam dosa dan membutuhkan kasih karunia Tuhan. —MEL

Teguran dalam kasih sangat diperlukan. Namun, jiwa yang suka mengkritik dapat menghancurkan.

* * *

Sumber: e-RH, 21/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

16 November 2012

Paradoks Perilaku

Dua orang pendaki gunung merasa kelelahan, tetapi harus terus berjalan meninggalkan pegunungan es yang dingin membeku. Di tengah perjalanan mereka bertemu seorang pendaki yang rebah, nyaris mati kedinginan.

Pendaki pertama segera menolong, tetapi rekannya menolak, karena itu akan menjadi beban, sementara stamina mereka sudah payah. Pendaki kedua melanjutkan perjalanan, meninggalkan pendaki pertama yang setapak demi setapak berjalan menggendong pendaki asing yang tak dikenalnya.


Keputusan pendaki yang murah hati itu mengingatkan kita pada sebuah nasihat: “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.”

Benar, beberapa kilometer kemudian, pendaki pertama menemukan rekannya jatuh tergeletak kedinginan. Ia heran, tidakkah rekannya berjalan seorang diri tanpa beban? Sementara ia tertatih-tatih menggendong pendaki yang tak dikenal.

Penolong ini tidak menyadari, bahwa dengan menggendong orang di punggungnya, tubuh mereka saling menghangatkan. Ada koneksitas energi di antara kedua tubuh yang saling mengantarkan panas, dan itu membuat mereka lebih hangat.

Akal sehat kita sudah terlanjur menilai bahwa menolong orang lain akan melemahkan kita, ternyata menolong justru memberikan kekuatan dan energi kepada kita.

Kita lupa bahwa kekuatan suatu rantai justru terletak pada mata rantai yang paling lemah, mata rantai paling retas atau paling mudah putus.

Ini suatu paradoks, di mana kekuatan justru ditentukan oleh satu titik yang paling lemah. Hal ini juga tampak pada perilaku kita dalam menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar kita. Saling menolong sering menjadi paradoks perilaku kita.

Bukankah kita lebih sering mengharapkan dibantu daripada membantu? Kita menuntut orang lain lebih memahami kemauan kita ketimbang menyediakan diri untuk memahami keinginan orang lain. Kita cenderung berbicara lebih banyak daripada mendengarkan orang lain berbicara. Kita lebih senang memerintah daripada diperintah. Kita lebih senang dilayani daripada melayani.

Saudaraku, ketika kita merasa lebih penting daripada siapa pun, kita sedang menjadi mata rantai yang lemah dalam membangun hubungan dengan orang lain. Ketika kita lebih mau mendengarkan, memahami, dan melayani orang lain, sesungguhnya kita sedang membangun rantai yang kuat. —Agus Santosa

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 16/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Paradoks Kita

==========

14 November 2012

Menjinakkan Keinginan

Semua orang pasti memiliki keinginan. Memiliki keinginan bukan suatu kekeliruan atau kesalahan. Malah kalau seseorang tidak memiliki keinginan, itu aneh.

Sekali lagi, mempunyai keinginan tidak salah. Tetapi masalahnya adalah ketika keinginan itu tidak dikendalikan, tidak dijinakkan, maka bisa menghilangkan kepekaan kita terhadap sesama.

Hilangnya kepekaan itu akan menimbulkan petaka, baik bagi orang lain maupun diri sendiri. Mengapa?

Ketika memiliki keinginan, kita cenderung mengambil dulu bagian terbaik, masa bodoh dengan orang lain atau biarlah yang lain mendapat sisanya.

Kita harus mampu membedakan keinginan dan kebutuhan. Kata orang bijak, dunia ini bisa mencukupi kebutuhan semua orang, tetapi dunia tidak bisa mencukupi keinginan satu orang. Kebutuhan ada batasnya, keinginan tak terbatas.

Apakah keinginan Anda saat ini? Kekayaan? Jabatan atau kekuasaan? Ingin bahagia, kehormatan, kemuliaan, umur panjang, kesuksesan, kesehatan? Banyak ya keinginan kita? Pasti semua menginginkan yang baik-baik, yang enak-enak bukan?


Sekali lagi memiliki keinginan memang tidak keliru, tetapi bagaimana keinginan itu dapat bermanfaat bagi sesama dan kemuliaan Tuhan, itu yang harus diupayakan.

Apakah keinginan kita untuk memuaskan hasrat kita sendiri ataukah akan memberkati sesama dan memuliakan Tuhan? —Liana Poedjihastuti

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 14/11/2012 (dipersingkat)

==========


Artikel Terbaru Blog Ini