Dua orang pendaki gunung merasa kelelahan, tetapi harus terus berjalan meninggalkan pegunungan es yang dingin membeku. Di tengah perjalanan mereka bertemu seorang pendaki yang rebah, nyaris mati kedinginan.
Pendaki pertama segera menolong, tetapi rekannya menolak, karena itu akan menjadi beban, sementara stamina mereka sudah payah. Pendaki kedua melanjutkan perjalanan, meninggalkan pendaki pertama yang setapak demi setapak berjalan menggendong pendaki asing yang tak dikenalnya.
Keputusan pendaki yang murah hati itu mengingatkan kita pada sebuah nasihat: “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.”
Benar, beberapa kilometer kemudian, pendaki pertama menemukan rekannya jatuh tergeletak kedinginan. Ia heran, tidakkah rekannya berjalan seorang diri tanpa beban? Sementara ia tertatih-tatih menggendong pendaki yang tak dikenal.
Penolong ini tidak menyadari, bahwa dengan menggendong orang di punggungnya, tubuh mereka saling menghangatkan. Ada koneksitas energi di antara kedua tubuh yang saling mengantarkan panas, dan itu membuat mereka lebih hangat.
Akal sehat kita sudah terlanjur menilai bahwa menolong orang lain akan melemahkan kita, ternyata menolong justru memberikan kekuatan dan energi kepada kita.
Kita lupa bahwa kekuatan suatu rantai justru terletak pada mata rantai yang paling lemah, mata rantai paling retas atau paling mudah putus.
Ini suatu paradoks, di mana kekuatan justru ditentukan oleh satu titik yang paling lemah. Hal ini juga tampak pada perilaku kita dalam menjalin hubungan dengan orang-orang di sekitar kita. Saling menolong sering menjadi paradoks perilaku kita.
Bukankah kita lebih sering mengharapkan dibantu daripada membantu? Kita menuntut orang lain lebih memahami kemauan kita ketimbang menyediakan diri untuk memahami keinginan orang lain. Kita cenderung berbicara lebih banyak daripada mendengarkan orang lain berbicara. Kita lebih senang memerintah daripada diperintah. Kita lebih senang dilayani daripada melayani.
Saudaraku, ketika kita merasa lebih penting daripada siapa pun, kita sedang menjadi mata rantai yang lemah dalam membangun hubungan dengan orang lain. Ketika kita lebih mau mendengarkan, memahami, dan melayani orang lain, sesungguhnya kita sedang membangun rantai yang kuat. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 16/11/2012 (diedit seperlunya)
Judul asli: Paradoks Kita
==========