Hidup kita bergantung pada orang lain. Waktu bayi kita bergantung pada ayah dan ibu yang terbangun malam hari, ketika kita menangis atau ngompol. Usapan cinta kasihnya memberikan ketenangan.
Ketika sekolah kita bergantung pada guru yang membuka segudang ilmu untuk menjadi manusia yang melek pengetahuan dan gemar membaca.
Setelah berumah tangga, kita amat kerepotan ketika tidak ada pembantu yang menyapu, mengepel, mencuci, dan menyetrika pakaian.
Di kantor kita bergantung pada sekretaris yang membantu mengatur kegiatan dan merampungkan tugas administratif berbentuk laporan.
Di kompleks perumahan, kita bergantung pada satpam yang berpatroli menjaga keamanan dari pencuri.
Pokoknya selama kita hidup di dunia selalu bergantung pada orang lain yang memberikan sejumlah kebaikan kepada kita.
Sebaliknya kita juga sering dimintai bantuan oleh orang lain, yang diawali dengan kata maaf, apakah dapat menolong saya mengambilkan atau melakukan sesuatu. Walaupun kadang-kadang kita berpikir, orang itu bisa melakukan sendiri kok minta tolong orang lain.
Saya juga geram ketika ada anak yang dimanjakan dengan fasilitas, lalu menempatkan diri sebagai ‘raja kecil’ yang memperlakukan pembantunya seenak perut sendiri untuk melayani berbagai kebutuhannya.
Hidup adalah tindakan untuk menabung kebaikan. Berbuat baiklah selagi ada kesempatan sebagai ucapan syukur atas kebaikan Tuhan yang telah kita terima.
Itu adalah tujuan yang mulia, daripada hidup hanya untuk mengumpulkan tabungan kejelekan dan melakukan hal-hal yang tidak baik.
Daripada iri hati dan menyebarkan gosip, kasak-kusuk untuk menjegal orang lain, bukankah lebih baik menabung kebaikan?
Jadilah manusia yang produktif menyetor kebaikan, jangan konsumtif memanfaatkan orang lain untuk kepentingan kita.
Ada saatnya kita menerima kebaikan orang dan sudah saatnya kita menyebar kebaikan.
Biarlah orang yang disiram kebaikan itu merasakan secercah kebahagiaan. —Pdt. Agus Wiyanto
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 7/11/2011 (diedit seperlunya)
==========