Berita di TV tentang terjadinya tanah longsor dengan jumlah korban jiwa dan materi seharusnya bisa mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati ketika memilih lokasi permukiman agar kita dan orang lain selamat dari bencana semacam itu.
Memang merupakan lingkaran setan kalau kita berbicara tentang kepadatan penduduk dan makin kurangnya lahan untuk perumahan, sehingga orang tidak berpikir panjang lagi tentang tanah tempat mereka akan membangun rumah.
Seorang teman dari Bali heran melihat tatanan lokasi perumahan di daerah yang padat di Kota Ambon. Dia bertanya, “Bagaimana mereka bisa bernapas, ya?”
Di Bali orang membangun rumah selalu memerhatikan ajaran agama yaitu Tri Hita Karana, artinya selalu ada halaman di sekeliling rumah. Halaman depan untuk memelihara hubungan dengan alam (palemahan), di kanan kiri untuk memelihara hubungan dengan tetangga (pawongan), dan di belakang rumah tempat mereka biasa berdoa dan memuja Sang Pencipta (parahyangan).
Aturan membangun rumah dengan memerhatikan keselamatan orang lain dan diri sendiri sudah ada sejak zaman dahulu. Kita manusia di abad ilmu pengetahuan dan teknologi canggih ini malah melupakan hal sederhana itu, yang justru diperhatikan oleh nenek moyang kita yang hidupnya sangat sederhana.
Apakah karena kebutuhan atau memang kita kurang memerhatikan hidup saling mengasihi dan memerhatikan sesama?
Seperti orang Bali yang mematuhi Tri Hita Karana, kita juga memerhatikan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. —Irene Talakua
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 21/8/12 (diedit seperlunya)
==========
21 Agustus 2012
Tri Hita Karana
Diposting oleh Paulus Herlambang pada 11.10