Seorang lelaki setengah baya dimintai tolong istrinya untuk menjaga kasur yang dijemur di halaman: kasur agar segera dimasukkan ke dalam rumah kalau hujan turun. Maklum saat itu cuaca tidak menentu, meski siang hari panas, tiba-tiba langit bisa berawan dan turun hujan.
Agar tidak lupa, suami yang baik hati itu menggelar kursi di samping kasur, ia membaca buku sambil menjaga kasur yang dijemur. Nah, petaka pun terjadi. Saat asyik membaca, tiba-tiba hujan turun, spontan ia bergegas untuk berteduh.
Ia segera masuk ke dalam rumah, melupakan kasur yang dijemur. Sesaat setelah hujan reda, ia baru ingat, kasur itu ia tinggal begitu saja di halaman. Ah, kasur itu sudah basah kuyup...
Lupa, bisa terjadi karena kita abai atau tidak memberi perhatian. Ada begitu banyak peristiwa yang tidak mendapatkan perhatian kita, Anda dan saya melupakannya. Ada banyak momentum tergerus waktu, bahkan sejak awal sudah diabaikan. Ada banyak peristiwa dan nama yang tidak masuk dalam memori, terlupakan atau dilupakan.
Tentang lupa ini, saya teringat kata-kata bijak sahabat saya, Dr. Pradjarta Dirdjosanjoto, direktur Lembaga Percik Salatiga. Ia pernah mengatakan bahwa lupa itu patut disyukuri. Seandainya kita tidak lupa dan mengingat semua peristiwa, masalah demi masalah selalu terpatri dalam ingatan kita, alangkah tersiksanya kita.
Ya, kita tidak akan bisa melupakan kesalahan orang lain, hal-hal yang menyakitkan selalu kita ingat, memadati hati dan pikiran kita, menutup pintu pengampunan. Kita tidak bisa mengampuni kesalahan orang lain karena kita senantiasa distimulasi oleh perkara yang serba menyakitkan, pahit getir, pedih lara, marah, benci, dan dendam.
Alangkah damai hati kita yang bisa melupakan kesalahan orang lain. Namun tidak selalu demikian, adakalanya luka meninggalkan bekas, seakan menjadi “grafiti” yang menggambarkan bahwa sakit itu belum dan takkan sembuh. Kita tetap terluka karena yang menyakitkan itu selalu menjadi fokus hati.
Luka itu semakin dalam karena menjadi pijakan kebencian, meletupkan amarah dan dendam. Hati yang terluka akan menahan kemampuan kita untuk mengampuni, serta membentengi orang lain untuk meminta maaf.
Kita mungkin menyimpan kesalahan orang lain yang tidak disengaja atau memang dirancang untuk menyerang kita. Itu membuat hati terluka, kita tersiksa karena sakit hati. Tidak ada pemberesan, amarah tetap kita gantung, kata maaf tidak pernah kita dengar. Kesalahan itu bak bakteri jahat yang berkembang subur di dalam diri kita.
Hari ini adalah saatnya kita memutuskan untuk melupakan kesalahan orang lain, kesalahan yang lambat laun bisa menggiring kita menjadi jahat. Inilah saatnya kita lebih memusatkan hati pada kemurahan dan kasih Tuhan.
Kasih itu tidak menyimpan kesalahan orang lain. Jadi, jangan lagi menyimpan kesalahan orang lain. Lupakanlah kesalahan itu, jangan lagi menjadi fokus hati kita.
Bebaskanlah diri kita dari belenggu sakit hati, niscaya dengan kasih karunia Tuhan, kita bisa merahmati orang lain melalui pengampunan. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 16/8/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Lupakanlah!
==========
16 Agustus 2012
Melupakan Kesalahan
Diposting oleh Paulus Herlambang pada 11.05