Pernahkah Anda merasa enggan sekali bertemu dengan orang lain? Kita semua tentu pernah merasakannya, terutama ketika harus menghadapi orang-orang yang menurut kita menjengkelkan dan kurang menghargai kita.
Apalagi jika kita pernah terlibat konflik dengan orang-orang itu. Pada situasi seperti itu, mungkin kita lebih suka menyendiri dan mengerjakan hal-hal yang kita sukai.
Meskipun adakalanya kita butuh waktu untuk sendirian, kita perlu berhati-hati terhadap kecenderungan menarik diri dari pergaulan. Kenapa?
Orang yang menyendiri cenderung memikirkan dirinya semata. Orang lain menjadi gangguan baginya. Kritik dan nasihat, yang bijak sekalipun, ditanggapi dengan kemarahan. Mereka lebih suka berdebat dan mengungkapkan kejengkelannya daripada mendengarkan orang lain.
Perilaku demikian bukanlah tindakan yang bijak. Sebaliknya, orang yang bijak adalah orang yang bersedia mendengarkan kata-kata hikmat (kata-kata yang memberi pengertian), sekalipun adakalanya hal itu dinyatakan dalam bentuk teguran yang pedas. Mendengarkan orang lain juga melatih kita untuk bersikap rendah hati.
Ketika kita mendengarkan kata-kata orang lain yang tidak kita sukai, usahakan agar tidak serta-merta (langsung) membantahnya. Sebaliknya, dengarkan lebih banyak apa yang ingin dikatakan oleh lawan bicara kita.
Bukalah hati lebar-lebar, renungkan apa yang kita dengar. Kita akan kagum mengalami bagaimana melalui beragam orang di sekitar kita, Tuhan menolong kita memperoleh pengetahuan untuk hidup lebih baik. --HEM
Marah sebelum mendengarkan menutup pintu pengertian. Mendengarkan pertimbangan orang lain membuka pintu kebijaksanaan.
* * *
Sumber: e-RH, 23/8/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Mendengarkan Pertimbangan
==========
23 Agustus 2012
Mendengarkan Orang Lain
Diposting oleh Paulus Herlambang pada 09.52
21 Agustus 2012
Tri Hita Karana
Berita di TV tentang terjadinya tanah longsor dengan jumlah korban jiwa dan materi seharusnya bisa mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati ketika memilih lokasi permukiman agar kita dan orang lain selamat dari bencana semacam itu.
Memang merupakan lingkaran setan kalau kita berbicara tentang kepadatan penduduk dan makin kurangnya lahan untuk perumahan, sehingga orang tidak berpikir panjang lagi tentang tanah tempat mereka akan membangun rumah.
Seorang teman dari Bali heran melihat tatanan lokasi perumahan di daerah yang padat di Kota Ambon. Dia bertanya, “Bagaimana mereka bisa bernapas, ya?”
Di Bali orang membangun rumah selalu memerhatikan ajaran agama yaitu Tri Hita Karana, artinya selalu ada halaman di sekeliling rumah. Halaman depan untuk memelihara hubungan dengan alam (palemahan), di kanan kiri untuk memelihara hubungan dengan tetangga (pawongan), dan di belakang rumah tempat mereka biasa berdoa dan memuja Sang Pencipta (parahyangan).
Aturan membangun rumah dengan memerhatikan keselamatan orang lain dan diri sendiri sudah ada sejak zaman dahulu. Kita manusia di abad ilmu pengetahuan dan teknologi canggih ini malah melupakan hal sederhana itu, yang justru diperhatikan oleh nenek moyang kita yang hidupnya sangat sederhana.
Apakah karena kebutuhan atau memang kita kurang memerhatikan hidup saling mengasihi dan memerhatikan sesama?
Seperti orang Bali yang mematuhi Tri Hita Karana, kita juga memerhatikan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. —Irene Talakua
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 21/8/12 (diedit seperlunya)
==========
Diposting oleh Paulus Herlambang pada 11.10
18 Agustus 2012
Keramahan yang Tulus
Banyak bangsa mengedepankan keramahan sebagai nilai lebih di mata bangsa lain. Bangsa Indonesia pun demikian. Namun, kadangkala upaya ini membuat keramahan tak lagi muncul dari hati.
Misalnya saja, saat kita mengunjungi bank, kita menerima sapaan pegawai atau petugas keamanannya. Kata-kata sapaannya tertata dan seragam, tetapi ‘tanpa rasa’ dan ‘tak kontak’ dengan yang disapa. Mimik wajah dan bahasa tubuh terlihat tak alamiah. Hasil latihan.
Sebaliknya, sekalipun mungkin bukan dengan bahasa "sekolahan", di toko-toko kelontong kecil ataupun di pasar, kita sering lebih merasa hangat disambut. Keramahan yang muncul karena tugas atau dari hati, dapat dirasakan bedanya.
Keramahan bagi sebagian orang butuh pembiasaan. Dalam suasana Idul Fitri ini, bagaimanakah kita dapat menunjukkan keramahan kepada kerabat, handai taulan, tetangga, mitra usaha, atau pun rekan sejawat yang merayakannya?
Nyatakanlah keramahan dengan kata-kata yang meluap dari hati.
* * *
Sumber: e-RH, 18/8/12 (dipersingkat)
Judul asli: Keramahan dari Hati
==========
Diposting oleh Paulus Herlambang pada 10.00
16 Agustus 2012
Melupakan Kesalahan
Seorang lelaki setengah baya dimintai tolong istrinya untuk menjaga kasur yang dijemur di halaman: kasur agar segera dimasukkan ke dalam rumah kalau hujan turun. Maklum saat itu cuaca tidak menentu, meski siang hari panas, tiba-tiba langit bisa berawan dan turun hujan.
Agar tidak lupa, suami yang baik hati itu menggelar kursi di samping kasur, ia membaca buku sambil menjaga kasur yang dijemur. Nah, petaka pun terjadi. Saat asyik membaca, tiba-tiba hujan turun, spontan ia bergegas untuk berteduh.
Ia segera masuk ke dalam rumah, melupakan kasur yang dijemur. Sesaat setelah hujan reda, ia baru ingat, kasur itu ia tinggal begitu saja di halaman. Ah, kasur itu sudah basah kuyup...
Lupa, bisa terjadi karena kita abai atau tidak memberi perhatian. Ada begitu banyak peristiwa yang tidak mendapatkan perhatian kita, Anda dan saya melupakannya. Ada banyak momentum tergerus waktu, bahkan sejak awal sudah diabaikan. Ada banyak peristiwa dan nama yang tidak masuk dalam memori, terlupakan atau dilupakan.
Tentang lupa ini, saya teringat kata-kata bijak sahabat saya, Dr. Pradjarta Dirdjosanjoto, direktur Lembaga Percik Salatiga. Ia pernah mengatakan bahwa lupa itu patut disyukuri. Seandainya kita tidak lupa dan mengingat semua peristiwa, masalah demi masalah selalu terpatri dalam ingatan kita, alangkah tersiksanya kita.
Ya, kita tidak akan bisa melupakan kesalahan orang lain, hal-hal yang menyakitkan selalu kita ingat, memadati hati dan pikiran kita, menutup pintu pengampunan. Kita tidak bisa mengampuni kesalahan orang lain karena kita senantiasa distimulasi oleh perkara yang serba menyakitkan, pahit getir, pedih lara, marah, benci, dan dendam.
Alangkah damai hati kita yang bisa melupakan kesalahan orang lain. Namun tidak selalu demikian, adakalanya luka meninggalkan bekas, seakan menjadi “grafiti” yang menggambarkan bahwa sakit itu belum dan takkan sembuh. Kita tetap terluka karena yang menyakitkan itu selalu menjadi fokus hati.
Luka itu semakin dalam karena menjadi pijakan kebencian, meletupkan amarah dan dendam. Hati yang terluka akan menahan kemampuan kita untuk mengampuni, serta membentengi orang lain untuk meminta maaf.
Kita mungkin menyimpan kesalahan orang lain yang tidak disengaja atau memang dirancang untuk menyerang kita. Itu membuat hati terluka, kita tersiksa karena sakit hati. Tidak ada pemberesan, amarah tetap kita gantung, kata maaf tidak pernah kita dengar. Kesalahan itu bak bakteri jahat yang berkembang subur di dalam diri kita.
Hari ini adalah saatnya kita memutuskan untuk melupakan kesalahan orang lain, kesalahan yang lambat laun bisa menggiring kita menjadi jahat. Inilah saatnya kita lebih memusatkan hati pada kemurahan dan kasih Tuhan.
Kasih itu tidak menyimpan kesalahan orang lain. Jadi, jangan lagi menyimpan kesalahan orang lain. Lupakanlah kesalahan itu, jangan lagi menjadi fokus hati kita.
Bebaskanlah diri kita dari belenggu sakit hati, niscaya dengan kasih karunia Tuhan, kita bisa merahmati orang lain melalui pengampunan. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 16/8/12 (diedit seperlunya)
Judul asli: Lupakanlah!
==========
Diposting oleh Paulus Herlambang pada 11.05
09 Agustus 2012
Hancur bersama Musuh?
Sekawanan lebah mengerubuti seekor ular. Sengatan demi sengatan menghunjam kepala licin si ular. Ular terluka, sakit, marah, dan bernafsu untuk membalas.
Ular yang konon cerdik itu meletakkan kepalanya di atas rel kereta api dengan niat ingin membunuh kawanan lebah. Kereta api lewat, dalam sekejap ular dan para lebah tergilas roda besi, mereka mati semua.
Fabel yang ditulis Aesop ini mengingatkan perilaku sebagian besar orang ketika disakiti atau dilukai. Kita secara manusiawi ingin membalas perlakuan orang lain dengan berseteru, yang akhirnya semakin melukai diri sendiri.
Kita bisa dilukai orang lain tanpa pernah berbuat salah. Jangan berpikir karena kita vegetarian, maka seekor banteng tidak akan menyerang kita.
Ketika keberadaan kita dinilai sebagai ancaman, yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, itu sudah cukup untuk mengubah peta persahabatan menjadi medan perang.
Anda bisa saja dimusuhi seseorang tanpa pernah memusuhi. Bisa saja musuh Anda justru sahabat terbaik, dan semua itu sangat menyakitkan hati. Lalu apa yang Anda lakukan, bertarung membalas sakit hati?
Saya teringat cerita di balik aksara Jawa. Konon ada dua orang abdi yang setia (ha na ca ra ka). Keduanya terlibat perselisihan dan akhirnya berkelahi (da ta sa wa la). Mereka berdua sama kuat dan tangguh (pa da ja ya nya), dan akhirnya kedua abdi itu tewas bersama (ma ga ba tha nga).
Ketika dua orang abdi bertarung sampai mati, dan seekor ular menggilaskan kepalanya pada rel kereta api, itu adalah keputusan fatal akibat dirasuk amarah dan dendam.
Ketika disakiti, sungguh manusiawi jika kita bergumul ingin membalas. Namun, apakah kita pernah bertanya bahwa itu akan menyelesaikan masalah, lebih baik dari cara Tuhan?
Tuhan punya cara terbaik membebaskan kita dari masalah ini, yakni “mengampuni” seperti Ia mengampuni kesalahan kita. Tuhan tahu siapa Anda dan saya. Ia tidak ingin kita menuntut balas, karena akan membutakan mata rohani, melemahkan jiwa dan tubuh kita.
Ya, jika Anda telah dilukai seseorang, singkirkanlah keinginan membalas dan percayalah Tuhan akan menyelesaikan masalah Anda. Jangan berbuat seperti si ular. Jangan memilih ma ga ba tha nga, hancur bersama musuh Anda. —Agus Santosa
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 9/8/12 (dipersingkat)
Judul asli: Ma ga ba tha nga
==========
Diposting oleh Paulus Herlambang pada 17.58