"Bu, kurasa kita perlu mulai diet," kata Pak Agung. Bu Agung mencibir sambil berpikir, "Ia menganggap aku semakin gemuk dan jelek."
Pada hari lain Bu Agung —dengan niat menghindarkan suaminya dari kena tilang— berkata, "Mbok ya jangan ngebut kalau nyetir." Pak Agung merengut, pikirnya, "Huh, selalu saja ia menganggap aku ini ugal-ugalan."
Apabila pola komunikasi semacam itu dibiarkan berlarut-larut, Anda bisa membayangkan bagaimana kondisi rumah tangga Pak Agung.
Ketidakjelasan dan kesalahpahaman dalam berkomunikasi dapat menimbulkan luka emosional. Komunikasi yang seharusnya menjadi jembatan penghubung antarmanusia, justru berdiri tegak menjadi tembok pembatas.
Kita didorong untuk mengutamakan kejelasan dalam berkomunikasi, seperti disarankan oleh Salomo (Nabi Sulaiman) berikut ini: “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.” ~Salomo (Amsal 18:13)
Jangan buru-buru menanggapi suatu pesan sebelum kita menyimak dan memahami benar maksudnya. Tanggapan yang sembrono hanya menimbulkan masalah.
Apabila kita ragu-ragu atau tidak mengerti saat menerima pesan, jangan sungkan untuk meminta kejelasan. Metode ini disebut sebagai mendengarkan secara reflektif.
Mendengarkan bukan sekadar berdiam diri ketika mitra kita berbicara, melainkan menyimak baik-baik untuk memahami maksudnya. Untuk memastikan, ulangi apa yang diucapkan orang itu, dan berilah ia kesempatan untuk menjelaskan.
Bu Agung, misalnya, bisa bertanya baik-baik, "Bapak mengajak Ibu berdiet, ya?" Lalu, biarkan Pak Agung menjelaskan apa maksudnya, dan kemudian Bu Agung dapat menanggapi dengan semestinya. Komunikasi yang jelas pun dapat terlaksana. —ARS
Komunikasi yang efektif baru terlaksana ketika kita menanggapi dengan benar pesan yang disampaikan.
* * *
Sumber: eRH, 4/5/2011 (diedit seperlunya)
==========