27 September 2012

Ilmu Penyembuh Jiwa

Dr. Paul Tournier, seorang dokter jiwa di Jenewa, Swiss, menjadi sangat terkenal dengan cara-cara penyembuhannya, sehingga banyak dokter muda datang belajar kepadanya.

Dengan rendah hati dia mengatakan. “Agak memalukan bagi para murid itu untuk datang dan belajar dari saya, dan mereka akan pulang dengan kecewa. Yang saya lakukan terhadap pasien-pasien saya hanyalah menerima mereka apa adanya.”

Mungkin itulah satu-satunya hal yang paling penting untuk ilmu penyembuhan jiwa.

(Dr. Paul Tournier)

Dalam hubungan sosial kita, baik di kantor, pelayanan, keluarga, maupun di masyarakat, sikap menerima orang lain perlu kita kembangkan.

Dr. Thomas Gordon mengungkapkan salah satu sikap menerima orang lain adalah dengan mendengarkan orang itu tanpa sikap menghakimi, yaitu saat mereka berbicara kepada Anda, responslah dengan kata-kata: “Benarkah?” “Ya…” “Menarik sekali.” “Ceritakanlah lebih banyak lagi…” “Saya tertarik dengan pendapatmu.” “Tampaknya ini adalah sesuatu yang penting buatmu.”

Apa salahnya kita meningkatkan keterampilan untuk menerima orang lain dengan sikap-sikap di atas.

Kehidupan kita dikelilingi oleh orang-orang yang dekat dengan kita, sahabat, teman, rekan kerja, rekan pelayanan, dan masyarakat. Oleh sebab itu terimalah satu terhadap yang lain.

Marilah kita belajar menerima orang lain apa adanya dan menjadi penyembuh jiwa bagi orang-orang di sekeliling kita. —Lydia Ong

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 27/9/2012 (dipersingkat)

==========

21 September 2012

Mendengar vs Mendengarkan

Telinga yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh Tuhan. Ya, telinga diciptakan Tuhan untuk mendengar, tetapi sering kali orang malas untuk mendengarkan.

Mendengar itu suatu keadaan yang bersifat alami, terjadi begitu saja. Mendengarkan butuh kehendak dan energi. Ada kesediaan hati untuk mendengarkan, paling tidak memerhatikan kata demi kata yang keluar dari mulut, geliat kalimat yang mengalir dari bibir.

Namun tidak banyak telinga yang mendengarkan, meski ada banyak telinga bisa mendengar.


Mendengarkan itu bersifat aktif, bagian terpenting dalam membangun relasi dengan orang lain. Jadi, aktifkanlah hati Anda, bangkitkan energi Anda untuk mendengarkan saat orang lain berbicara.

Setiap orang pasti ingin didengarkan, ingin berarti bagi orang lain. Dengan mendengarkan, kita membuka diri untuk suatu tanya, perintah, nasihat, opini, teguran, keluhan, atau apa pun yang disampaikan kepada kita.

Ingatlah, dengan mendengarkan Anda bisa memenangkan hati seseorang. Bahkan disarankan agar kita lebih banyak mendengarkan daripada berbicara.

Adakalanya keluarga, sahabat, dan orang-orang di sekitar kita tidak membutuhkan pujian atau sanjungan, mereka hanya butuh didengarkan.

Ketika anak Anda terluka hatinya, bukan nasihat yang dia butuhkan, dia hanya ingin didengarkan.

Ketika istri atau suami Anda lara hatinya, dia ingin Anda mendengarkannya.

Mendengarkan seseorang itu sama artinya dengan menunjukkan bahwa dia penting bagi Anda.

Ketika Anda ingin menegur atau mengoreksi kesalahan seseorang, dengarkanlah terlebih dahulu pembelaannya.

Kesediaan untuk mendengarkan juga berlaku dalam hubungan kita dengan Tuhan. Dengarkanlah firman-Nya untuk memenangkan hati Tuhan. —Agus Santosa

Berbuatlah lebih dari sekadar mendengar, dengarkanlah. —John Mason

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 21/9/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Dengarkanlah!

==========

20 September 2012

Menabung Kebaikan

Hidup kita bergantung pada orang lain. Waktu bayi kita bergantung pada ayah dan ibu yang terbangun malam hari, ketika kita menangis atau ngompol. Usapan cinta kasihnya memberikan ketenangan.

Ketika sekolah kita bergantung pada guru yang membuka segudang ilmu untuk menjadi manusia yang melek pengetahuan dan gemar membaca.

Setelah berumah tangga, kita amat kerepotan ketika tidak ada pembantu yang menyapu, mengepel, mencuci, dan menyetrika pakaian.


Di kantor kita bergantung pada sekretaris yang membantu mengatur kegiatan dan merampungkan tugas administratif berbentuk laporan.

Di kompleks perumahan, kita bergantung pada satpam yang berpatroli menjaga keamanan dari pencuri.

Pokoknya selama kita hidup di dunia selalu bergantung pada orang lain yang memberikan sejumlah kebaikan kepada kita.

Sebaliknya kita juga sering dimintai bantuan oleh orang lain, yang diawali dengan kata maaf, apakah dapat menolong saya mengambilkan atau melakukan sesuatu. Walaupun kadang-kadang kita berpikir, orang itu bisa melakukan sendiri kok minta tolong orang lain.

Saya juga geram ketika ada anak yang dimanjakan dengan fasilitas, lalu menempatkan diri sebagai ‘raja kecil’ yang memperlakukan pembantunya seenak perut sendiri untuk melayani berbagai kebutuhannya.

Hidup adalah tindakan untuk menabung kebaikan. Berbuat baiklah selagi ada kesempatan sebagai ucapan syukur atas kebaikan Tuhan yang telah kita terima.

Itu adalah tujuan yang mulia, daripada hidup hanya untuk mengumpulkan tabungan kejelekan dan melakukan hal-hal yang tidak baik.

Daripada iri hati dan menyebarkan gosip, kasak-kusuk untuk menjegal orang lain, bukankah lebih baik menabung kebaikan?

Jadilah manusia yang produktif menyetor kebaikan, jangan konsumtif memanfaatkan orang lain untuk kepentingan kita.

Ada saatnya kita menerima kebaikan orang dan sudah saatnya kita menyebar kebaikan.

Biarlah orang yang disiram kebaikan itu merasakan secercah kebahagiaan. —Pdt. Agus Wiyanto

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 7/11/2011 (diedit seperlunya)

==========

16 September 2012

Matsushita

Tahun 1918 Konosuke Matsushita mendirikan Matsushita Electric Industrial (MEI), dengan merek yang populer seperti National dan Panasonic. Tahun 1994 perusahaan elektronik ini mencapai kejayaannya sebagai bisnis paling sukses.

Namun yang lebih menggetarkan hati adalah kepiawaian Matsushita yang berhasil memimpin MEI keluar dari masa-masa sulit.

Saat resesi 1929, pertumbuhan ekonomi Jepang anjlok. GNP turun dratis, yang berarti daya beli masyarakat menurun. Dunia bisnis panik. Saat itu General Motor di Amerika yang memiliki 92.829 pekerja terpaksa mem-PHK separuh karyawannya.

Matsushita menyikapi resesi lebih arif dengan melakukan terobosan yang manusiawi. Ia memangkas setengah kapasitas produksi MEI tetapi tidak seorang pegawai pun di-PHK. Matsushita kemudian membekali separuh karyawan produksi dengan keahlian salesmanship, jadilah mereka laskar penjual MEI door-to-door.

(Konosuke Matsushita)

Matsushita bukan pemimpin yang secara sepihak tega mengorbankan karyawannya. Ia pemimpin empatik yang memperlakukan karyawannya sebagai sahabat dan saudara sendiri.

Kearifan Matsushita mengingatkan kita pada sebuah kalimat bijak yang mengatakan: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Akhirnya, Matsushita bersama seluruh karyawan MEI selamat dari resesi 1929 dan tetap survive.

Enam belas tahun kemudian, kepedulian Matsushita terhadap semua karyawan MEI mendapatkan balasan yang manis. Ia menerima anugerah dari para karyawan yang pernah ditolongnya.

Saat itu Perang Dunia II berakhir, Jenderal McArthur menguasai Jepang, menangkap dan mengadili semua pengusaha negara itu yang terlibat dalam perang.

Konon pada tahun 1930-an, Matsushita dan para pengusaha lainnya mendapat tekanan rezim militer Jepang untuk memproduksi senjata dan logistik militer lainnya. Jadi, Matsushita pun ikut dipenjara.

Ketika serikat pekerja MEI mendengar bahwa Matsushita menjadi tawanan Jenderal McArthur atas tuduhan keterlibatan perang, sekitar 15.000 pekerja bersama keluarga mereka membubuhkan tanda tangan dalam petisi pembelaan untuk Matsushita.

Jenderal McArthur salut dan menerima petisi tersebut, kemudian membebaskan Matsushita.

Selain Matsushita, tidak seorang pun pengusaha atau pemimpin industri Jepang yang dibebaskan McArthur. Matsushita terus memimpin MEI sampai perusahaan ini menjadi raksasa elektronik dunia, dan baru pensiun tahun 1989 saat berusia 94 tahun. —Agus Santosa

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 24/1/12 (diedit seperlunya)

==========

15 September 2012

Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri

Alkisah dua pria bersaudara bekerja bersama-sama mengolah ladang milik keluarga. Salah seorang dari mereka tidak menikah, sedangkan pria satunya menikah dan memiliki beberapa anak. Hasil ladang, mereka bagi sama rata.

Suatu hari yang bujangan berkata kepada dirinya sendiri, “Ah, tidak betul kami membagi hasil ladang secara sama rata, bukankah saya bujangan, kebutuhan saya tidak banyak. Saudaraku itu memiliki istri dan anak-anak.”

Maka di tengah malam dengan memanggul sekarung gandum ia mengendap-endap di halaman dan memasukkan karung gandum itu ke lumbung saudaranya.


Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan, saudaranya berkata kepada dirinya, “Tidak betul kalau kami membagi hasil ladang secara sama rata. Bukankah aku sudah menikah dan memiliki istri yang mengurus aku serta anak-anak yang akan merawat aku di hari tua. Kasihan saudaraku itu hidup sendiri.”

Maka di tengah malam ia mengambil sekarung gandum dari lumbungnya lalu memasukkannya ke dalam lumbung saudaranya.

Selama bertahun-tahun kedua orang bersaudara itu merasa heran karena lumbung mereka tidak pernah berkurang.

Lalu terjadilah peristiwa ini, pada suatu malam di tengah kegelapan mereka bertubrukan. Rupanya mereka saling menuju ke lumbung saudaranya pada waktu yang bersamaan. Awalnya keduanya terkejut, tetapi kemudian tertawa terbahak-bahak sambil berpelukan.

Cerita William Bausch ini mungkin mengundang tawa kita juga, tetapi pasti juga rasa haru. Alangkah baik dan indahnya apabila orang-orang yang bersaudara hidup dengan rukun.

Kebanyakan yang terjadi dewasa ini adalah sebaliknya. Yang berkeluarga akan berkata, “Aku berkeluarga, mestinya aku mendapat lebih.” Sementara yang bujangan akan berkata, “Aku hidup membujang, kesepian, mestinya aku mendapat lebih. Saudaraku sudah memiliki semuanya.”

Kiranya kisah Bausch ini menginspirasi kita untuk memedulikan orang lain, karena kasih memang tidak mencari keuntungan diri sendiri. —Liana Poedjihastuti

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 25/1/12 (diedit seperlunya)

==========

10 September 2012

Kata-kata

Kata bisa setajam pedang, sepekak senapan, segelegar granat. Kata, layaknya senjata pemicu perang, biasa digunakan untuk berseteru dan memang bisa mengobarkan pertempuran.

Pernahkah Anda terluka oleh komentar yang menyakitkan hati? Seorang teman sambil tertawa mungkin bisa mencederai hati Anda dengan kata-kata tak senonoh yang bodoh.

Sebaliknya, Anda barangkali juga pernah bicara di balik punggung seseorang, menebar sindiran, kata-kata satiris yang melukai hati. Adakalanya kita menciptakan masalah demi masalah dengan menggunakan lidah jahil dan mulut yang bocor.

Lidah adalah organ tubuh yang kecil, tersembunyi dalam mulut kita, tetapi bisa cukup lentur menyeruakkan kata-kata jahat. Lidah bisa meletuskan perseteruan dalam keluarga dan permusuhan di antara sahabat.


Kita bisa bertindak bodoh, asal bicara tanpa berpikir dahulu, dan melukai perasaan orang lain. Nasihat yang tepat untuk situasi demikian adalah: Jangan bertindak bodoh, berpikirlah dahulu sebelum bicara!

Dalam kenyataannya, ada saja orang yang gemar menggunakan lidahnya untuk mencederai, menista, menindas, memfitnah, bahkan membunuh. Selalu ada orang yang dengan sengaja mencari cara-cara jahat untuk menghancurkan orang lain.

Lidah seharusnya digunakan untuk membangun kehidupan, menyerukan kata-kata damai sejahtera, melantunkan perkataan baik dan ucapan positif.

Kata-kata kita seharusnya bisa untuk membangun kehidupan orang lain. Renungkanlah sejenak, kapan terakhir kali aku memberi semangat, membesarkan hati sahabat dan keluargaku?

Marilah bertanya pada diri sendiri, apakah yang kukatakan lebih sering menguatkan atau melemahkan orang lain?

Blaise Pascal menganjurkan agar kita menggunakan perkataan yang baik. “Perkataan yang baik tidak mahal, tidak melecetkan lidah atau bibir. Walaupun tidak mahal, perkataan yang baik itu menyelesaikan banyak hal, membangkitkan sifat baik pada diri orang lain, dan menghasilkan citra diri yang sangat indah.”

Tuhan, tolonglah aku mengendalikan kata-kataku, tidak untuk menyakiti, melainkan untuk membesarkan hati orang lain. Jauhkanlah kiranya mulutku dari perkataan yang bisa menjatuhkan seseorang, urapilah mulutku agar dapat mengucapkan kata-kata yang baik. Amin. —Agus Santosa

Musuh terbesar dan sahabat terbaik Anda adalah kata-kata yang Anda ucapkan.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 10/9/12 (diedit seperlunya)

==========

05 September 2012

Hubungan Industrial yang Sehat

Perbudakan dalam bentuk seperti yang berlaku pada zaman dahulu sudah tidak ada lagi hari ini. Tetapi, dalam bentuknya yang berbeda perbudakan masih terus ada.

Sebuah kamus bahasa Inggris kontemporer mendefinisikan perbudakan (slavery) sebagai: [1] keadaan di bawah kontrol orang lain, dan [2] bekerja dalam kondisi kerja yang sukar dengan bayaran yang sangat minim.

Kelompok orang yang paling mencerminkan definisi ini adalah para pekerja, baik mereka yang disebut “pekerja kerah putih” maupun mereka yang dinamai “pekerja kerah biru”.

Bagi mereka yang berprofesi sebagai pekerja kerah putih, bayaran biasanya bukan masalah. Situasi “perbudakan” yang dialami adalah pada kontrol orang lain atas keinginan dan tindakannya.

Dalam batas-batas tertentu kontrol perlu dan harus. Tetapi, manakala sudah sampai pada kontrol atas nurani dan nilai-nilai sehingga kerja hanya dimaknai sebatas mencari uang, materi, dan keuntungan; maka di situ manusia sedang diperbudak.

Bagi pekerja kerah biru situasinya lebih sukar daripada itu. Dalam banyak hal kendali atas hidupnya telah diambil alih oleh sang pemberi kerja. Sistem ekonomi dan ketenagakerjaan telah menempatkan mereka pada posisi yang lemah. Sementara ruang alternatif yang tersedia begitu sempit dan sukar untuk dimasuki.

Siapakah orang yang paling bertanggung jawab untuk melepaskan para “budak” ini? Pihak pertama yang harus bertanggung jawab adalah mereka yang memiliki para budak itu. Mereka adalah orang-orang yang pada masa kini merupakan pemilik usaha dan pemberi kerja.

Apa yang harus mereka lakukan? Hal yang terpenting adalah perubahan relasi antara pemberi kerja dan pekerja. Jika semula bersifat kepemilikan di mana pengusaha merasa pekerja adalah miliknya, sehingga bisa diperlakukan sesukanya karena dibayar, kini tidak boleh lagi begitu.

Pengusaha harus memberi “kemerdekaan” kepada pekerja untuk menginginkan sesuatu, mencita-citakan sesuatu, dan berbuat sesuatu sesuai pilihannya.

Lebih dari itu, juga berarti menempatkan pekerja sejajar — dalam harkat dan martabat — dengan pemberi kerja. Itu berarti dalam relasi dengan pekerja, pemberi kerja harus berangkat dari keyakinan bahwa antara pekerja dan dirinya tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Pengusaha dan pekerja keduanya sama-sama setara.

Selanjutnya, selain dipandang dan diperlakukan sederajat, pengusaha atau majikan perlu memberdayakan pekerjanya supaya mereka mampu bersikap dan bertindak sebagai mitra yang sederajat.

Tentu ini membutuhkan investasi ke dalam diri pekerja. Mengeluarkan kapital atau modal. Sebagian orang berpikir itu rugi. Bukankah hal itu adalah tanggung jawab pekerja sendiri?

Sekilas rugi. Betul. Namun, pengusaha dan majikan yang mengutamakan kesejahteraan pekerjanya akan mendapati bahwa usaha mereka diberkati Tuhan secara luar biasa. —Pdt. Markus Dominggus Lere Dawa

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 5/9/12 (diedit seperlunya)

Judul asli: Memerdekakan Para Pekerja

==========


Artikel Terbaru Blog Ini